resensi buku

04.34 |


Istilah resensi berasal dari bahasa Belanda, resentie, yang berarti kupasan atau pembahasan. Jadi, resensi adalah kupasan atau pembahasan tentang buku, film, atau drama yang biasanya disiarkan melalui media massa, seperti surat kabar atau majalah.
Pada Kamus Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi buku lebih dikenal dengan istilah timbangan buku.
Tujuan resensi adalah memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran suatu buku, apakah ada hal yang baru dan penting atau hanya sekadar mengubah buku yang sudah ada. Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek resensi, tetapi pengungkapannya haruslah merupakan penilaian objektif dan bukan menurut selera pribadi si pembuat resensi. Umumnya, di akhir ringkasan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil hikmahnya.
Pembuat resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator harus membaca buku itu terlebih dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki pengetahuan yang memadai, terutama yang berhubungan dengan isi buku yang akan diresensi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyusunan sebuah resensi.
1. 1 . Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan tebal buku.
2. Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi pengarang, atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi.
3. Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4. Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan
Umumnya resensi terdiri dari
1. Judul
Judul resensi harus menarik dan selaras dengan keseluruhan isi resensi
2. Identitas buku
meliputi judul buku(judul asli dan Modern.terjemahan),penulis, penerbit, tahun terbit, tebal buku.
3. Isi
Meliputi
- ulasan singkat isi
- keunggulan buku,
- kelemahan buku,
- rumusan kerangka
4. Penutup
Penutup resensi biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa. Selain itu dapat juga berisi kelemahan buku.
Kiat Praktis Menulis Resensi Buku
Apakah resensi itu?

Resensi adalah tulisan yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan sebuah karya baik yang berupa buku maupun yang berupa karya seni. Tulisan ini biasanya dimuat di media cetak seperti koran, majalah, atau tabloid. Dilihat dari segi isinya terdapat berbagai macam resensi, antara lain resensi buku, resensi novel, resensi buku kumpulan cerpen, resensi film, resensi, patung, dan sebagainya.
Uraian berikut ini lebih difokuskan pada resensi buku.
Siapakah penulis resensi?
Penulis resensi adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang bidang yang diresensi dan memiliki kemampuan untuk menganalisis sebuah karya secara kritis sehingga dapat menjelaskan kelemahan dan kelebihan dari karya yang diresensi.
Apakah tujuan ditulisnya sebuah resensi?
Resensi dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang sebuah karya sehingga pembaca mengetahui apakah karya yang diresensi itu merupakan karya yang bermutu atau tidak. Resensi akan sangat bermanfaat apabila karya yang diresensi relatif masih baru. Semakin baru karya yang diresensi, semakin baik. Hal itu dimaksudkan agar pembaca segera mengetahui apakah karya itu layak untuk dinikmati atau tidak..
Apa saja unsur-unsur dalam resensi?
Sekurang-kurangnya dalam resensi terdapat hal-hal berikut ini:
• Judul resensi
• Identitas karya (buku) yang diresensi
• Uraian tentang jenis karya yang diresensi
• Uraian tentang kelebihan dan kekurangan karya yang diresensi
• Kesimpulan yang berisi penegasan kembali mengenai layak tidaknya karya tersebut untuk dinikmati oleh pembaca.
Bagaimana langkah-langkah menulis resensi buku (novel)?
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menulis resensi buku (novel) adalah:
1. Tahap Persiapan meliputi:
(a) Membaca contoh-contoh resensi; dan
(b) Menentukan buku yang akan diresensi.
2. Tahap Pengumpulan Data meliputi:
(a) Membaca buku yang akan diresensi;
(b) Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan sebagai data meliputi hal-hal yang menarik dan tidak menarik dari buku (novel) yang diresensi;
(c) Mencatat data-data penulisan resensi yang telah diperoleh melalui membaca buku yang diresensi..
3. Tahap Penulisan meliputi:
(a) Menuliskan identis buku;
(b) Mengemukakan isi buku (sinopsis novel dan unsur-unsur intrinsik lainnya );
(c) Mengemukakan kelebihan dan kekurangan buku (novel) baik dari segi isi maupun bahasa;
(d) Merevisi resensi dengan memperhatikan susunan kalimatnya, kepaduan paragrafnya, diksinya, ejaan dan tanda bacanya.
(e) Membuat judul resensi.

Catatan:
Judul resensi harus singkat, menarik, dan menggambarkan isi resensi.
Bagaimana cara menemukan kelebihan dan kekurangan buku yang diresensi?
Cara menemukan kekurangan dan kelebihan buku yang diresensi adalah:
• membandingkan buku yang diresensi dengan buku lain yang sejenis baik oleh pengarang yang sama maupun oleh pengarang lain yang meliputi segi isi atau pun bahasanya (untuk novel meliputi semua unsur intrinsiknya);
• mencari hal-hal yang menarik atau disukai dan hal-hal yang tidak disukai dari buku tersebut dan mencari alasan mengapa demikian.

Berikut ini adalah contoh resensi buku nonfiksi.
Kisah-Membaca Seorang "Yogi Buku"


Judul buku : Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I
Tahun terbit : 2002
Jumlah halaman : xxv + 435 halaman

Bagi Polycarpus Swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku seolah-olah seperti berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja dalam waktu yang lama untuk membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya puluhan kilogram, seperti itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro. Bedanya, P. Swantoro tidak melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan judul buku yang sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini "hanya" 200 judul buku yang ia "kisahkan".
Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan peng-alamannya kepada anak cucunya.
Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika buku-buku yang ia kisahkan merupakan buku-buku babon yang tua dan cukup langka,. Misalnya, The History of Java karya Thomas S. Raffles yang terbit tahun 1817, Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J Krom yang terbit tahun 1919, atau De Ijombok Kxpedie karya W Cool yang terbit tahun 1896. Memang, di sana-sini, untuk keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan cukup banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika membahas topik PKI, misalnya, Pak Swan, sebenarnya, perlu menggunakan sumber yang lebih memadai.
Tema yang diangkat pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya Gunung Merapi, cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para pembaca "pemula", tema yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang jelas ini cukup merepotkan.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian kemari. Kata demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika membicarakan Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar dituntut cermat untuk menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita dapat menemukan keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di bab demi bab akan terjawab.
Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang Budaya karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu, yang merupakan syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan bahwa buku Pak Swan menggunakan pola yang sama dengan buku Denys Lombard tidak terbukti mengingat dalam menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan memorinya, seperti pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena mengandalkan memori, tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola penceritaan lisan.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam. Pembaca yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu dengan membaca buku ini terlebih dahulu. Demikian pula para mahasiswa jurusan sejarah.
Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping membicarakan cara pandang para orientalis Barat, juga memberikan contoh buku-buku yang memuat cara pandang Timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang sebutan "Timur Tengah" untuk wilayah negara di jazirah Arab. Mengapa orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai "Barat Dekat", misalnya? Bukankah sebutan "Timur Tengah" adalah sebutan orang Barat yang melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan seperti ini sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang tampaknya semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan jika Pak Swan menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said yang terbit tahun 1979. Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap kita terhadap tradisi Barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan.
Hal lain yang belum dibahas secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang ahli sejarah dan pemerhati kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi Jawa. Prof. C.C. Berg, memang, sempat dimunculkan dalam bagian Babad: Kitab Dongeng? Namun, sayang sekali, karya C.C. Berg yang berjudul Oavaanche Geschiedschrijving, yang terbit di Amsterdam tahun 1938, tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan sejarah di Pulau Jawa menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku pertama seorang "yogi buku" ini merupakan karya yang memikat. Bahkan cara dan gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan sastra yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.

Sumber: Majalah Matabaca, Agustus 2002 (dengan perubahan)


Berikut ini adalah contoh resensi buku kumpulan cerpen.
Monyet Ayu Menggiring Surealisme
Judul : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2004
Cetakan : Keenam. Mei 2004
Tebal buku : xii, 137 halaman


“Sepanjang hidup, saya melihat manusia berkaki empat. Berbulu serigala, landak, atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai.
Namun, tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku–buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan, konon mereka mempunyai hati.” (halaman 1)
“Saya memperhatikan bayangan diri saya dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka, saya adalah seekor binatang. Kata mereka, saya adalah monyet. Waktu mereka mengatakan itu pada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!”
Reaktif, provokatif, bahkan subversif. Itulah kesan pertama saya membaca kalimat-kalimat dalam salah satu cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul “Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Penggalan cerpen yang juga dimuat di sampul belakang antologi ini menyuguhkan panorama baru, pengutaraan prosa yang berkecenderungan punya “tegangan tinggi”.
Reaktif karena kebanyakan cerpen dalam buku yang memuat sebelas cerpen ini merupakan tegangan-tegangan bahasa yang menuju pada simpul-simpul reaksi atas berbagai “kesakitan” yang dialami (diminati) para tokoh. Reaksi ini bisa dialami pengarang sebagai “pengalaman imajinatif”. Dialamijuga mengandung pengertian mengetahui dan dapat dirasakan. Provokasi juga menjadi ujara morfologi pada cerpan – cerpen Djenar. Secara sublim, ia sebenarnya memprovokasi dirinya lewat tokoh –tokoh untuk menggugat berbagai “ketidakbahagiaan hidup”. Saya tidak melihatnya sebagai laku feminisitas. Djenar lebih sebagai moralis yang kadang puas dengan menelanjngi dirinya. Ucapan “Mereka Bilang, Saya Monyet!” adalah provokasi bagi sang aku untuk menyadari “kadar kemanusiaannya”. Sementara subversif dicapai dengan penceritaan yang disampaikan secara tidak lazim, termasuk penggunaan bahasa.
Cerpenis kelahiran 14 januari 1973 yang sudah dikaruniai dua putri ini termasuk cerpenis yang sudah membuktikan bakat dan kerja keras sebagai gabungan sukses setelah unsur “sudah kehendak takdir”. Ia terbilang baru, tetapi punya karya yang mencengangkan. Saya tidak tahu sejauh mana hubungan semiotik Djenar Maesa Ayu dengan tiga sastrawan yang juga dianggap sebagai guru, yakni Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma. Djenar mempersembahkannya untuk tiga sastrawan besar yang juga dikenal sebagai cerpenis itu. Namun, ini juga merefleksikan benang merah prosa absurd hingga surealis yang menjadi dasar kesastraan Djenar.
Kita kenal Sutadji punya sekumpulan cerpen, Hujan Menulis Ayam (Indonesia Tera),yang jeli menggambarkan absurditas kehidupan.Kita menggali pribadi absurd pada tokoh-tokoh karya Budi Darma,yang bahkan menjadi surealis, yang kemudian dikembangkan secara jenius oleh Seno Gumira Ajidarma. Di titik Djenar seperti menemukan jalan penempuhan yang seirama dengan mereka. Bahwa pengutaraan lain,itu tentu soal cap kebahasaan dan kesastraan.
Dengan cara itu disimak bahwa Djenar melebih-lebihkan objek atau peristiwa,seperti pada cerpen “Lintah”. Sang pencerita menceritakan kebenciannya pada pacar ibunya yang ia lihat sebagai lintah, bahkan kadang bisa membelah diri dan menjadi ular. Hiperbola itu juga digunakan pada “Mereka Bilang, Saya Monyet!” yang melihat laki-laki jahat sebagai “berkepala buaya berkaki kalajengking”, juga pada cerpen “Wong Asu” yang mempresentasikan relasi manusia dengan anjing.
Dalam benak seorang surealis, kenyataan memang bisa selentur apa pun.Imajinasi memberi peluang untuk merebut realitas dijadikan tahap realitas imajinatif yang hampir tiada batas. Realitas temuan hanya menjadi sumbu peledak bagi realitas yang diungkapkan secara simbolis. Pencapaian sastra didapat dari unsur daya kejut, refleksi, gaya ungkap, hingga sublimasi.Makna dari tema dan pencapaian ikon/tanda yang secara semiotik diakui kefasihannya, Djenar telah cukup memenuhi syarat itu.
Karyanya yang lain seperti”Durian” berkisah tentang dosa dan ketakutan berlebih punya anak menderita kusta.”Melukis Jendela” berkisah tentang anak tidak bahagia yang melakukan eskapisme (pelarian diri) dengan melukis dan “Asmoro” tentang pengarang yang jatuh cinta pada tokoh fiksi ciptaannya. Kisah ini diungkapkan Djenar dengan cukup cerdas. Dalam penggunaan bahasa, ia terlihat fasih dengan ucapan yang lugas dan tegas. Bahasanya padat dan kuat sehingga mampu menohok setiap ihwal yang dijadikan objek tematik. Cerpen “Waktu Nyala”, misalnya, merupakan cerpen yang mengalirkan kekuatan berbahasa yang dikuasai Djenar dalam berkisah untuk menyihir pembaca. Uraiannya seperti.”Entah kapan persisnya Nayla tidak bersahabat dengan waktu.Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati,” menunjukkan kelancaran berbahasa dengan efektivitas diksi yang terjaga.
Ihwal peristiwa bahasa itu, ia juga menggunakan dalam cerpen “SMS”.Bahasa yang dipakai layaknya kiriman pesan lewat SMS di handphone. Di situ kata-kata minimal dan nomor-nomor atau angka digunakan sebagai kesatuan morfologis dalam cerita. Meskipun cerpen ini kurang berhasil, ia menjadi kaya alternatif yang menggunakan medium bahasa teknologi dalam pemaparan sebuah cerpen.”SMS” memang bertema biasa dan juga kurang berhasil sebagaimana karya “Menepis Harapan”, ”Namanya …”serta “Manusia dan Dia”, yang lebih terasa sebagai cerpen dengan tuturan bahasa kuat,mengalir, namun kehilangan roh tematik atau dalam beberapa hal alur dan endingnya mudah diduga. Mungkin ini berkaitan dengan jam terbang Djenar Maesa Ayu yang baru. Sebagai pendatang baru dalam dunia prosa Indonesia, Djenar sudah menjadi young divas setelah Ayu Utami dan Dinar Rahayu. Ia juga seorang surealis andal setelah Joni Ariadinata dan Agus Noor.(Eriyadi Budiman)

Berikut ini adalah contoh resensi novel.

Resensi Boulevard de Clichy - Agonia Cinta Monyet

Judul : Boulevard de Clichy-Agonia Cinta Monyet
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Maret – 2007
Jumlah halaman : 400 halaman
Kategori : Novel


Campur tangan ibu Budiman dengan bantuan opo-opo (guna-guna) membuat budiman lupa akan perbuatannya terhadap Nunuk, bahkan melupakan Nunuk, gadis yang dicintainya. Sebagai anak orang kaya, Budiman melanjutkan sekolah di Perancis, tetap dengan gaya anak pejabat yang lebih suka menghabis-habiskan uang daripada menggali ilmu pengetahuan yang bisa diperolehnya di sana.
Sementara Nunuk yang punya keluarga di Belanda diceritakan memutuskan untuk membawa anaknya yang baru lahir dan tinggal bersama keluarga ibunya di Belanda, melanjutkan sekolah di sana. Pertemuannya dengan seorang pencari bakat turunan Turki membawanya berkelana mencari pengalaman baru di Paris, Perancis. Kisah yang juga sama dengan pencari TKW yang mengajak perempuan desa ke kota, ataupun ke luar negeri dengan janji pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik.
Jalan cerita selanjutnya tidak terlalu sulit untuk ditebak. Kepintaran Nunuk membawanya menjadi bintang di Boulevard de Clichy dengan julukan Météore de Java. Tutur cerita yang secara detil menggambarkan situasi Boulevard de Clichy, maupun gambaran detil perilaku pelakon cerita serta perasaan-perasaan mereka, menjadi daya tarik utama dari novel-novel karangan Remy Sylado.
Sayangnya, akhir cerita yang terkesan terburu-buru dan terlalu dipaksakan membuat kekuatan cerita menjadi berkurang. Cerita Budiman dan Nunuk yang kembali lagi ke tanah air dan bertemu kembali setelah terpisah selama 5 tahun ternyata tidak dikisahkan sedetil dan seindah novel di bagian awal. Akhir cerita lebih berwarna "fairy tale", seperti kisah putri upik abu yang disunting pangeran kaya-raya.
Memang ini bukan kisah seribu satu malam, atau HC Andersen yang selalu mengatakan bahwa kejujuran dan kebaikan akan selalu menang dan juga bahwa kemenangan dan kemuliaan bersumber dari usaha kerja keras dan penuh pengorbanan. Oleh karena itu, sah-sah saja kalau jalan ceritanya menjadi demikian.
Membaca bagian akhir buku ini tidak lebih dari sekadar ingin menuntaskan suatu pekerjaan yang sudah terlanjur dimulai, disertai harapan mudah-mudahan novel Remy Sylado berikutnya dapat lebih hidup dan mengasyikkan sampai dengan akhir
cerita.

0 komentar:

Posting Komentar