KESUSASTRAAN
Ilmu Budaya Dasar secara sederhana adalah pengetahuan yang
diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang
konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan
kebudayaan . Suatu karya dapat saja mengungkapkan lebih dari satu
masalah, sehingga ilmu budaya dasar bukan ilmu sastra, ilmu filsafat
ataupun ilmu tari yang terdapat dalam pengetahuan budaya, tetapi ilmu
budaya dasar menggunakan karya yang terdapat dalam pengetahuan budaya
untuk .
Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep.
Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep.
Pokok-pokok yang terkandung dari beberapa devinisi kebudayaan
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam
2. Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran
3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
4. Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa, adat istiadat,
budaya daerah dan budaya nasional
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam
2. Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran
3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
4. Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa, adat istiadat,
budaya daerah dan budaya nasional
Ilmu Budaya Dasar Merupakan Pengetahuan Tentang Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia. Unsur-unsur kebudayaan
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi
Karya sastra adalah penjabaran abstraksi,namun filsafat yang
menggunakan bahasa juga disebut abstrasi. Maka abstrak adalah cinta
kasih,kebahagian,kebebasan dan lainnya yang digarap oleh filsafat. Dalam
kesusastraan IBD dapat dihubungkan …
meliputi: Bahasa, Agama, Kesusastraan, Kesenian dll. Mengikuti pembagian ilmu pengetahuan seperti tersebut diatas maka Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar adalah satuan pengetahuan yang dikembangkan sebagai usaha pendidikan. Konsep-konsep social dibatasi pada konsep dasar atau elementer saja yang sangat diperlukan utntuk mempelajari masala-masalah social yang dibahas dalam ilmu pengetahuan sosial, contohnya: Keanekaragaman dan konsep kesatuan sosial bertolak .
Tanpa ada maksud menciptakan dikotomi dalam kesusastraan, ada perbedaan antara literatur biasa dengan sastra. Sastra memiliki sense of love yang lebih representatif. Sebagai contoh, literatur ekonomi dapat saja mencatat angka-angka … Ada benang merah yang menyatukan konsep kebudayaan kita. Tidak heran apabila para pendiri bangsa mampu melebur diri dalam Bhineka Tunggal Ika. Kearifan budaya lokal masih kuat. Elemen-elemen kearifan budaya lokal kita didominasi oleh ajaran
meliputi: Bahasa, Agama, Kesusastraan, Kesenian dll. Mengikuti pembagian ilmu pengetahuan seperti tersebut diatas maka Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar adalah satuan pengetahuan yang dikembangkan sebagai usaha pendidikan. Konsep-konsep social dibatasi pada konsep dasar atau elementer saja yang sangat diperlukan utntuk mempelajari masala-masalah social yang dibahas dalam ilmu pengetahuan sosial, contohnya: Keanekaragaman dan konsep kesatuan sosial bertolak .
Tanpa ada maksud menciptakan dikotomi dalam kesusastraan, ada perbedaan antara literatur biasa dengan sastra. Sastra memiliki sense of love yang lebih representatif. Sebagai contoh, literatur ekonomi dapat saja mencatat angka-angka … Ada benang merah yang menyatukan konsep kebudayaan kita. Tidak heran apabila para pendiri bangsa mampu melebur diri dalam Bhineka Tunggal Ika. Kearifan budaya lokal masih kuat. Elemen-elemen kearifan budaya lokal kita didominasi oleh ajaran
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia peran sastra lisan maupun tulis
sangat menonjol dalam memperadabkan masyarakatnya. Warisan sastra
semacam itu dapat dilihat dari tersimpannya ribuan karya-karya sastra
tertulis di museum-museum daerah, seperti perpustakaan nasional,
perpustakaan kraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Cirebon,
Melayu-Riau, Bali, dan daerah-daerah suku yang lain. Pada suku Sunda,
misalnya, terdapat 80 sastra lontar yang baru sekitar 10 saja yang sudah
diterjemahkan, belum terhitung khasanah sastra lisan berupa pantun
Sunda dan wawacannya.
Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang kaya raya, yang
membuktikan bahwa bangsa ini sebenarnya pecinta sastra. Namun warisan
sastra yang kaya raya ini tidak diperdulikan lagi oleh bangsa ini. Kita
lebih banyak menimba nilai-nilai sastra dari peradaban-peradaban luar
yang kita anggap membawa kemajuan peradaban. Kalau mau menjadi bangsa
yang modern dan maju, kita harus berorientasi ke depan, yakni sastra
yang berkembang di peradaban-peradaban maju pula.
Modernitas memang tak bisa dielakkan. Mau tak mau Indonesia harus
berperadaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Indonesia harus berubah dari Indonesia pra-modern menjadi bangsa modern.
Tetapi apakah perubahan? Perubahan adalah sesuatu menjadi sesuatu yang
lain dari sesuatu itu sendiri. Indonesia menjadi Indonesia modern dari
keindonesiaannya sendiri. Aku adalah dia sebagai aku.
Selama ini kita tidak mengenal diri kita sendiri. Dalm bidang sastra,
pengetahuan dan pengalaman sastra keindonesiaan kita sangat minim. Kita
belum pernah membaca terjemahan dalam bahasa nasional kita I La Galigo
yang ribuan halaman itu. Tidak ada terjemahan kakawin Bharatayudha,
Arjuna Wiwaha, Mintorogo, Tambo Minangkabau, pantun Mundinglaya
Dikusumah, bahkan penerbitan ulang hikayat-hikayat yang ratusan itu.
Tentu saja kita tidak bermaksud menghidupkan kembali karya-karya
sastra lapuk zaman lampau itu, tetapi memahami alam pikiran, tata nilai,
yang terkandung di dalamnya yang ikut membentuk perjalanan peradaban
diri kita sekarang ini. Tanpa disadari sebenarnya kita semua dibentuk
oleh karya-karya sastra tersebut sampai menjadi manusia modern masa
kini. Ada alam pikiran, ada tata nilai, yang dikandung dalam karya-karya
sastra lisan dan tulis di Indonesia, yang membentuk peradaban Indonesia
sepanjang sejarahnya. Kita memiliki sejarah peradaban sendiri, yang
mungkin lebih dekat dengan peradaban Asia Tenggara, dan Asia yang lain.
Di sini akan ditelusuri secara garis besar perjalanan hubungan sastra
dan peradaban di Indonesia dari pra-sejarah sampai masa kini. Bahwa
sastra selalu dibutuhkan sebagai gambaran tata nilai peradaban setiap
zamannya dan sejarahnya yang panjang. Sastra adalah fiksi, gambaran,
imajinasi simbolik dari yang dibutuhkan masyarakatnya sebagai panduan
memperadabkan diri. Sastra dibutuhkan sebagai penawaran atas permintaan
tata nilai yang diakui, diyakini, diafirmasi sebagai pegangan kebenaran
dalam menempuh hidup bersama.
Itulah sebabnya karya-karya sastra disimpan, Disalin, dicetak ulang,
diceritakan kembali, bahkan dipentaskan, karena alam pikiran dan tata
nilainya mashi tetap dibutuhkan. Sejarah sastra Indonesia bukan sejarah
klangenan, penikmatan rasa keindahan, tetapi sejarah simbol-simbol yang
mengacu pada alam pikiran dan nilai-nilai tertentu. Di saat-saat kritis,
orang kembali pada karya-karya sastra untuk mencari pemecahan, atau
sekurang-kurangnya mencari kekuatan untuk dapat tetap bertahan.
1. Sastra Lisan
Sastra lisan berkembang di daerah perdesaan dalam bentuk cerita
tutur. Fungsi jenis sastra ini adalah sebagai afirmasi sistem
kepercayaan setiap suku di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai mitos.
Setiap sistem kepercayaan mana pun memiliki mitos-mitosnya sendiri.
Inilah semacam “kita suci” mereka. Mitos-mitos asal-usul dunia (suku)
dan manusia (suku) di berbagai daerah di Indonesia belum pernah kita
kumpulkan.
Mitos asal-usul kejadian manusia dan semesta ini mengandung cara
berpikir mendasar tentang keberadabaan, yakni sedikit banyak filosofis.
Dan ternyata untuk setiap suku dapat berbeda-beda. Mitos Toar dan
Lumimuut di Minahasa, Mitos Te’se di Riung, Manikmaya di Jawa, Sulanjana
di Sunda, Tambo Minangkabau di Minang, Femuripits di Asmat, menunjukkan
perbedaan filosofis tersebut. Lu,o,iit dan Te’se, misalnya, manusia
pertama yang muncul di dunia ini adalah perempuan yang keluar dari
keringat batu atau belahan batu, yang hamil dengan persetubuhan dengam
alam, Lumimuut membongkok ke arah mata angin, Te’se serbuk bunga masuk
ke kelaminnya waktu tidur. Keduanya melahirkan anak lelaki, yang
kemudian akan mengawini ibunya itu, dan berkembang biaklah manusia
(suku).
Femuripits agak lain. Dia lelaki yang muncul begitu saja dari sebuah
gunung di hulu sungai. Ia berlayar ke arah hilir dan disana membuat
patung kayu sepasang, lalu ia menari mengelilinginya, dan patung-patung
kayu itu menjadi manusia Asmat yang pertama. Di masyarakat Jawa dan
Sunda agak mirip, yakni keberadabaan ini muncul dari kekosongan mutlak
yang disebut auwung awang uwung.
Di Jawa alam suwung tadi dihuni oleh Sang Hyang Wisesa, yang memegang
sejenis telur primordial yang muncul bersama bunyi genta. Telur inilah
yang kemudian menjadi langit dan bumi dari kulitnya, siang dan malam
dari putih telurnya, dan mahadewa kembar Manik dan Maya. Dari keduanya
inilah muncul segala sesuatu didunia ini. Di Sunda alam suwung tadi
disebut jatiniskala yang dihuni oleh Si Ijunajati Mistemen. Dari padanya
muncul batara Keresa (kehendak), batara Kawasa (kekuasaan, kekuatan),
dan batara Maha Karana (penyebab pertama). Ketiga batara ini menjelma
menjadi Sang Hyang Tunggal. Dari Sang Hyang Tunggal inilah keluar
ucapan: Aku adalah Dia sebagai Aku.
Mitologi-mitologi ini (sastra) dijadikan pegangan utama dalam
membentuk peradaban. Mitos-mitos ini semacam “kitab suci” suku yang
membentuk nilai-nilai etik. Dan ternyata nilai etik yang satu berbeda
bahkan bertentangan dengan yang lain. Di satu fihak perempuan menduduki
tempat terhormat (lelaki di bawah perempuan), di fihak lain sebaliknya.
Di satu fihak korban manusia penting bagi kesuburan tanaman (mitos Te’se
di Riung), di fihak lain perkawinan merupakan syarat penting kesuburan
tanaman (Jawa, Sunda). Terdapat dua motif utama keselamatan manusia,
yakni perang (kematian) dan perkawinan (memihak kehidupan).
Sastra lisan yang terkenal sampai abad 20 adalah pantun Sunda. Pantun
adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi semalam suntuk. Cerita
pantung Lutung Kasarung, Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung,
Ciung Wanara, Panggung Karaton, untuk waktu yang lama ikut membentuk
tata nilai etik masyarakat Sunda. Cerita pantun fungsinya mirip dengan
wayang kulit di Jawa. Wayang membentuk peradaban Jawa.
Kiranya jelas bahwa sastra lisan di berbagai suku adalah imajinasi
murni yang merupakan simbol-simbol realitas. Sastra lisan ini muncul
berdasarkan realitas masyarakatnya, menjadi sastra simbol dan
dikembalikan ke realitas kembali. Masyarakat perdesaan ini peka terhadap
simbol-simbol seni. Mereka hidup berdasarkan simbol-simbol tersebut.
Mereka tidak peduli apakah itu historis atau imajinasi. Sastra itu
realitas yang bersangkutan dengan kehidupan bersama atau pribadi mereka.
Lumimuut itu nyata. Nyai Roro Kidul itu nyata. Bima itu benar-benar
menggali sungai Serayu dengan alat kelaminnya.
Kebudayaan mitis-spiritual semacam itu sama sekali tergantung dari
sastra mitos. Di perdesaan, sastra lisan ini diwariskan turun temurun
dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan tata nilai setempat. Ilmu
perbandingan sastra lisan dapat menguak sejarah pemaknaan satu mitos
dari satu lokal ke lokal lain suku tersebut.
2. Sastra Tulis Peradaban Hindu-Indonesia
Bangsa Indonesia memasuki zaman literer pada abad-abad awal milineum
pertama, yakni ketika lembaga-lembaga kerajaan bermunculan di berbagai
wilayah suku Indonesia. Berkembangnya sastra tertulis
Hinduistik-Budistik di Indonesia berlangsung dari abad 9 sampai 16.
Seperti sastra lisan etnik sebelumnya, jenis sastra ini juga mitologis,
bagian dari kebudayaan-agama atau kepercayaan. Jenis sastra ini masih
hidup di Bali dan menjadi pedoman etik masyarakatnya.
Sastra mitologis ini, seperti halnya sastra lisan, adalah untuk
“dipertunjukkan” atau didengarkan, sehingga tidak mengherankan apabila
banyak yang berbentuk puisi. Fungsi sastra ini adalah menghadirkan
daya-daya transenden bagi berbagai kepentingan hidup sehari-hari mereka.
Barang siapa membaca dan mendengarkan sampai selesai akan mendapatkan
berkah. Karena dipercayai sebagai pembawa berkah, maka karya-karya
sastra itu dinilai sakral juga. Dan karena sakral maka semua yang
diceritakan di dalamnya mengandung kebenaran-kebenaran yang dijadikan
pedoman membangun peradaban bersama.
Kajian ilmiah mengenai jenis sastra mitologis ini sudah jarang
dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, yang pada zaman kolonial justru
banyak kajian dilakukan oleh sarjana-sarjana asing. Kajian semacam itu
dapat menguak alam pikiran buaya-mitis Indonesia tentang apa yang
disebut kebenaran, kebaikan, keindahan, kesempurnaan, keadilan. Alam
pikiran yang dikandung oleh berbagai sastra-mitis ini tidak lenyap
bersama lenyapnya jenis sastra ini di masyarakat. Alam pikiran klenik,
kebatinan, kesaktian, yang masih berkembang di masyarakat sekarang,
dapat dilacak genealoginya dalam sastra lisan-mitis dan sastra
tulis-mitis ini. Sastranya sudah tidak dibaca lagi, namun alam pikiran
yang terkandung dalam karya-karya itu masih merupakan bagian peradaban
Indonesia sekarang.
Ratusan karya-karya sastra yang mencerminkan pola berpikir masyarakat
pendukungnya, yakni peradaban sezama, tidak pernah diakui sebagai
bagian dari pembentukan peradaban bangsa Indonesia. Akibatnya
karya-karya sastra ini teronggok di museum-museum dan perpustakaan
keraton menunggu kemusnahannya. Dengan sikap ini maka kita akan
kehilangan genealogi perubahan-perubahan peradaban bangsa sendiri.
Ajaran-ajaran filsafat India mulai masuk dalam sastra peradaban
Indonesia-Hinduistik ini, yang sebagian berpengaruh ketika Islam
berkembang di Indonesia sejak tahun 1200-an. Gejala ini tidak
mengherankan karena ketika filsafat dan agama Hindu masih berkembang
subur di Indonesia, agama Islam mulai berkembang dari Aceh. Kisah-kisah
Syekh Siti Jenar, Kyai Cebolek, Syekh Amongraga, Hamzah Fansuri,
mewarnai transisi peradaban di Indonesia.
3. Sastra dan Peradaban Islam Indonesia
Indonesia memiliki warisan sastra Islam yang amat kaya, namun sedikit
sekali kajian atas jenis sastra ini, baik di zaman kolonial maupun
setelah kemerdekaan. Karya-karya sastra Islam ini dapat menguak
peradaban Islam Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 500 tahun.
Sastra Melayu meninggalkan khasanah peradaban Islam-Indonesia yang
sudah agak tertata, meskipun belum banyak dikaji untuk memahami
peradaban Indonesia sampai sekarang ini. Begitu pula sastra Jawa zaman
Islam menunjukkan karakter peradabannya sendiri, terutama sastra pesisir
Jawa dan pedalaman Jawa. Sedang Sunda memiliki khasanah sastra Islamnya
yang juga luar biasa banyaknya. Yang terkenal adalah bentuk wawacan
yang masih berlangsung di daerah perdesaan Sunda sampai hari-hari ini,
yaitu pertunjukan belukm untuk kepentingan hajatan (menunjukkan fungsi
primordialnya). Viviane Tessier-Sukanda pernah mengumpulkan jenis
wawancan ini lebih dari 500 buah di berbagai desa Pasundan, baik berupa
ajaran-ajaran Islam maupun sastra imajinatif.
Khasanah sastra Islam di Indonesia jauh melebihi sastra
Hinduistiknya. Kajian atas sastra ini akan memberikan pencerahan
terhadap berbagai varian peradaban Islam Indonesia. Sayang perhatian
terhadap khasanah yang kaya raya ini juga sangat kurang dilakukan.
Peradaban Islam Indonesia tentunya universal Islami, tetapi juga tentu
akan menunjukkan karakter keindonesiaannya yang khas pula.
Peradaban Islam Indonesia tidak mungkin difahami tanpa mempelajari
karya-karya sastra ini. Ini menunjukkan bahwa sastra Islam membentuk
peradaban Islam Indonesia.
4. Sastra Modern Zaman Kolonial
Sastra sebagai mitos (dasar kepercayaan imani) berlangsung sejak
sastra lisan primordial sampai zaman Hindu, bahkan juga masih nampak
pada zama Islam di Indonesia. Sastra Islam dibaca atau dipertunjukkan
untuk menghadirkan daya-daya transenden. Sastra ini berkembang di
kalangan rakayt perdesaan dan pusat-pusat kerajaan.
Sastra modern Indonesia berkembang di wilayah perkotaan, terutama
kota-kota maritim, karena kekuasaan kolonial dimulai di wilayah-wilayah
tersebut. Meskipun kolonialisme telah berkembang dalam abad 17 namun
peradaban modern baru menampakkan dirinya dalam abad 19, yaitu dengan
munculnya pendidikan modern Barat dan berkembangnya pers pribumi.
Peradaban mencolok dua peradaban, yakni peradaban mitologis dan
peradaban modern, adalah bahwa peradaban mitis berkembang dalam
masyarakat yang homogen, etnik, sakral, sedangkan peradaban modern
Indonesia berkembang di masyarakat yang heterogen, nasional, profan,
Fungsi sastra dalam membentuk peradaban juga heterogen. Dahulu sastra
Jawa membentuk peradaban Jawa, begitu pula sastra Sunda, Melayu, Bali
dan lain-lain. Dalam peradaban modern, sastra dan seni modern umumnya,
hanya merupakan salah satu unsur permbentuk peradaban, disamping ilmu
pengetahun, teknologi, filsafat, bahkan agama.
Sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi
nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai
dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama mereka. Dalam
masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu
amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang
heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-beda untuk setiap kelompok
sosialnya. Kalau dalam masyarakat pra-modern hanya dibutuhkan satu
jenis sastra, dalam masyarakat modern dibutuhkan banyak jenis sastra.
Apa yang disebut sastra modern ini dapat digolongkan dalam dua sisi,
yakni sastra modernyang berkembang dalam wilayah etnik, seperti sastra
Jawa modern, sastra Bali modern, sastra Sunda modern, dan sastra modern
yang menggunakan bahasa Indonesia modern. Tidak mengherankan apabila
terdapat beberapa sastrawan yang dwibahasa. Ia menulis sastra modern
dalam bahasa ibunya, tetapi juga menulis sastra modern dalam bahasa
nasional. Apakah terdapat perbedaan sikap dalam alam pikiran dan tata
nilainya antara karya-karyanya yang modern-etnik dan modern nasional,
belum ada kajiannya.
Kalau sastra etnik zaman Hindu dan Islam berorientasi pada peradaban
India dan Timur Tengah, sastra modern etnik maupun nasional berorientasi
pada sastra Barat yang mulai berkembang di zaman kolonial. Pada abad 19
dan awal abad 20 banyak disadur atau diterjemahkan karya-karya sastra
Barat di Indonesia. Sastra Barat ini memenuhi kebutuhan nilai masyarakat
modern perkotaannya.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada sistem pendidikan Eropa,
memandang penting sastra bagi pembentukan peradaban modern. Tidak ada
kaum terpelajar didikan kolonial yang tidak kenal sastra. Sastra dalam
peradaban modern Barat dipandang sama pentingnya dengan sastra Indonesia
di zaman peradaban mitologisnya. Dalam pendidikan kaum elit kekuasaan
pra-modern Indonesia, kurikulum sastra adalah kewajiban, disamping
agama, ilmu pemerintahan dan perang atau silat. Di masyarakat Sunda,
misalnya, kurikulum pendidikan kaum menak atau bangsawan terdiri dari
ngaji (agama), mamaos (sastra) dan maenpo (silat).
Kita belum pernah meneliti kurikulum dan silabus sastra modern apa
saja yang diwajibkan bagi siswa-siswa tingkat menengah zaman kolonial.
Kita hanya mengetahui bahwa kaum intelektual Indonesia yang dibesarkan
di zaman kolonial amat akrab dengan sastra, seperti Syahrir dan
Soekarno.
5. Sastra Indonesia Setelah Kemerdekaan
Peran sastra modern Indonesia dalam pembentukan peradaban modern
Idnoensia setelah kemerdekaan amat beragam. Tradisi sastra dalam
peradaban primordial, Hindu, Islam di zaman kemerdekaan masih ada
pendukungnya di masyarakat perdesaan, seperti terlihat dari pembacaan
wawacan di Sunda. Tetapi tradisi sastra modern zaman kolonial mulai
merosot pendukungnya. Karya-karya sastra tidak lagi menjadi kebutuhan
kaum elit terpelajarnya, tetapi menyempit hanya pada mereka yang
berminat pada sastra saja, biasanya calon-calon sastrawan.
Kalau Syahrir dahulu masih menganjurkan pentingnya membaca Benedetto
Croce dan Soekarno menyebut Dante Alighieri dalam pidatonya, kini kaum
elit budaya Indonesia tak kenal lagi sastra dunia atau sastra bangsa
sendiri. Sastra tidak lagi menjadi kebutuhan nilai bagi hidup mereka.
Sudah barang tentu mereka mengenal apa yang disebut sastra, dengan
merujuk pada sastra populer yang memang berkembang sejak zaman kolonial.
Sastra semacam ini mengandung nilai-nilai afirmatif yang tidak usah
terlalu serius dibaca dari sastra tetapi langsung pada sumber-sumber
ilmunya. Bagi mereka sastra adalah bagian dari pemenuhi kebutuhan
klangenan atau relaksasi. Sastra sebagai bagian pembentuk peradaban
tidak dikenal di kalangan kaum terpelajar sesudah kemerdekaan.
0 komentar:
Posting Komentar